Netflix dan Tantangan Perpajakan di Indonesia dan Solusi OECD
Netflix adalah platform streaming film dan series yang berbasis di Amerika Serikat, dengan pendapatan fantastis termasuk dari Indonesia. Meski demikian, hingga 2024, Netflix belum membayar Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia karena belum memiliki kantor cabang. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga menjadi tantangan global di mana perusahaan multinasional seringkali tidak membayar pajak di negara yang menjadi pangsa pasarnya.
Kriteria Wajib Pajak PPh untuk Perusahaan Multinasional
Untuk wajib membayar PPh di Indonesia, seperti halnya Netflix, sebuah perusahaan harus memenuhi syarat subjektif dan objektif. Salah satunya adalah memiliki kantor cabang atau bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Tanpa BUT, perusahaan tidak diwajibkan membayar PPh.
Solusi OECD: Two Pillar Solution
-
Pilar Satu: Negara dapat memungut pajak atas sebagian keuntungan perusahaan multinasional berdasarkan pendapatan di negara tempat produk/jasa digunakan.
-
Pilar Dua: Pajak minimum 15% dikenakan global, dengan mekanisme top-up tax jika tarif pajak di suatu negara di bawah 15%. Hal ini untuk mencegah pengalihan laba ke negara dengan tarif rendah.
Penerapan di Indonesia
Melalui PMK 136 tahun 2024, Indonesia resmi menerapkan Pilar Dua OECD mulai 1 Januari 2025. Tiga skema berlaku: Income Inclusion Rule (IRR), Undertaxed Payment Rule (UTPR), dan Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT). Netflix dan perusahaan multinasional lainnya diwajibkan membayar PPh sesuai ketentuan baru ini.